TARJIH

BAB I

PENDAHULUAN

Puji syukur kami kepada allah yang memberikan kehidupan dan peluang buat kami sehingga kami mampu menyelesaikan makalah singkat ini tepat pada waktunya,shalawat salam buat nabi sekalian alam yakini Muhammad SAW yang telah mengajarkan islam untuk keselematan untuk setiap insan

Ilmu tarjih adalah bagian dari cabang ilmu ushul fiqh sendiri yang berbicara tentang “ menguatkan “ baik itu menguatkan nash,hadits,ijma’,qiyas, maupun yang lainnya agar tidak ada kelemahan dalam pengamalan hukum yang dikeluarkan oleh berbagai metode tadi,sehingga tidak lagi ada keraguan bagi pengamalnya,namun untuk mencapai kesemuaan diatas kita juga perlu melihat bagaimana kriteria yang dibuat ulama terdahulu suapaya kita dapat melaksanakannya dan mengeluarkan hokum dari setiap permasalahan yang ada dihadapan kita

Mungkin demikianlah sekedar pendahuluan dari kami semoga kita dapat membahas makalah ini dengan sukses,lebih dan kurang kami mohon maaf serta kami berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dan menambah kajian keilmuan kita khusus dibidang mata kuliyah ini,





Jakarta,   Juli 2011




      Penyusun








BAB II

PEMBAHASAN

TARJIH


1.      Pengertian tarjih

Secara etimologi tarjih brarti “menguatkan”,sedangkan seacara termilogi,ada dua defenisi yang di kemukakan oleh ulama ushul fiqh

a)      Menurut ulama hanafiah

Artinya : memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat) dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.

b)      Menurut jumhur ulama

Artinya : menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk di amalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.


Dengan dalil ini ulama jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan zhanni menurut merekatarjih tidak termasuk persoalan yang qoth’I,juga tidak termasuk antara yang qoth’I dan zhanni Para ulama sepakat bahwa dalil yang rojih (dikuatkan) harus diamalkan,sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan


2.      Syarat-syarat Tarjih

Ulama ushul telah menetapkan beberapa syarat untuk melakukan proses pentarjihan antara dua dalil yang bertentangan, yaitu :

1.      Dalil-dalil yang bertentangan itu berbeda dari segi kekuatannya.

Ini karena tarjih merupakan proses untuk memilih dalil yang lebih kuat antara dua dalil yang bertentangan. (Abdul Karim Zaidan 2009 : 313)

2.      Dalil-dalil yang bertentangan itu harus mempunyai persamaan hukum dari segi masa, sisi dan mahall.

3.      Dalil-dalil yang bertentangan itu harus sama dari segi pensabitannya.

4.      Kekuatan dalil antara dalil-dalil yang bertentangan itu harus sama.

Sebagai contoh, tidak akan berlaku ta’arud antara hadis mutawatir dengan hadis ahad, jika ta’arud tidak berlaku maka pentarjihan juga tidak akan berlaku. (Muhammad al-Hafnawiyy 1987 : 296)

5.      Proses pentarjihan itu harus melibatkan dalil.

6.      Harus mempunyai dalil untuk mentarjih.


Untuk pemahaman yang lebih jelas mengenai tarjih, maka didatangkan contoh yaitu mengenai perkawinan. Firman Allah s.w.t :

Artinya :  “Dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan-perempuan isteri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki. (Haramnya segala yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu. dan (sebaliknya) dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang lain daripada yang tersebut itu.“ (QS. al-Nisa 4 : 24)

Dalam firman Allah yang lain, berbunyi :

Artinya : “Maka berkawinlah dengan ssiapa yang kamu kehendaki dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu) maka (berkahwinlah dengan) seorang saja.” (QS. al-Nisaa’ 4 : 3)


Pada ayat yang pertama, Allah telah menerangkan tentang perempuan-perempuan yang diharamkan untuk dikahwini tetapi dihalalkan perempuan-perempuan yang selain itu. Jadi secara zahirnya, umat Islam diharuskan berkahwin lebih daripada empat orang isteri. Pada ayat yang kedua pula, Allah memberitahu bahawa diharamkan ke atas umat Islam untuk berkahwin lebih daripada empat. Maka jelas percanggahan yang berlaku antara kedua-dua dalil tersebut.

Oleh itu, ulama telah bersepakat dengan mentarjihkan ayat yang pertama itu dengan ayat yang kedua. Jika dilihat pada syarat-syarat tarjih, kedua-dua dalil tersebut sama dari segi pensabitannya, mahall, kekuatannya dan ia juga mempunyai dalil lain iaitu ijmak.


3.      Cara cara dalam melakukan Melakukan Tarjih

Ali ibn Saif al-Din al-Amidi, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah menjelaskan secara rinci metode tarjih. Metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global adalah :

1)      Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas hadits yang lebih sedikit.

2)      Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan.

3)      Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukungan.
Para ulama ushul telah menerangkan jalan-jalan pentarjihan dalil-dalil itu, dan dari jalan-jalan mentarjihkan salah satu dari qiyas, ialah ‘illat dari qiyas yang pertama dinashkan sendiri oleh syara’ sedang ‘illat yang satu lagi diperoleh dengan jalan istinbath atau ‘illat lain, diistinbathkan dengan jalan munasabah.


Dalam hal ini ada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh para ulama, di antaranya:

    * Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dan memubahkan, ditarjihkan yang mengharamkan.
    * Apabila berlawanan antara yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukanlah yang menghalangi.
    * Apabila kita tak dapat mentarjihkan salah satunya, barulah kita tinjau sejarahnya masing-masing. Hal ini dapat diketahui dengan memperhatikan sebab-sebab nuzul ayat dan sebab-sebab wurud hadits.



BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tarjih Menurut jumhur ulama Adalah menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk di amalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.

Untuk melakukan Tarjih ada beberapa syarat di antaranya:

·        Dalil-dalil yang bertentangan itu berbeda dari segi kekuatannya.

·        Dalil-dalil yang bertentangan itu harus mempunyai persamaan hukum dari segi masa, sisi dan mahall.

·        Dalil-dalil yang bertentangan itu harus sama dari segi pensabitannya.

·        Kekuatan dalil antara dalil-dalil yang bertentangan itu harus sama.

·        Proses pentarjihan itu harus melibatkan dalil.

·        Harus mempunyai dalil untuk mentarjih.

Dari kalangan Syafi’iyah menjelaskan secara rinci metode tarjih diantaranya:

·        Tarjih dari segi sanad

·        Tarjih dari segi matan

·        Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan.





DAFTAR PUSTAKA


Karim, H.A. Syafi’i. 1997. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka setia.

Hasbi Ash Shiddieqiey,Teungku Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Rohayana,Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.

M. Zein, Satria Effendi. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wahab Khallaf,Syekh Abdul. 1995. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Rineka Cipta.

Husin Al Munawar, Said Agil. 2004. Membangun Metodologi Ushul Fiqh. Jakarta: Ciputat Press

Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2006. Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM.




Tugas Makalah STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta 
TARJIH TARJIH Reviewed by AKIEF TAKAFUL on Thursday, July 07, 2011 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.