Resensi buku : Reposisi Tarekat Hizib Nahdhatul Wathan



Tarekat Hizib Nahdhatul Wathan”





Judu Buku: Reposisi Tharekat Hizib Nahdatul Wathan dalam tharekat Mu’tabar di Indonesia

Penulis : Harapandi Dahri

Editor : Khorizah

Cetakan : Pertama, Juli 2010

Penerbit : Atas kerjasama antara Penamadani dan STAI Al- Aqidah Al Hasyimiyyah Jakarta

Tebal : 173 hlm

ISBN : 278-979-9767-52-3

Harapandi Dahri dilahirkan di Lombok (NTB) 31 desember 1965, aktif sebagai Dosen sekaligus sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasimiyyah Jakarta. Beliau juga masih tercatat sebagai peneliti aktif pada Balai Peneliti Agama dan pengembangan Agama Jakarta. Buku ini merupakan salah satu karya Beliau yang telah diterbitkan dengan campur tangan sahabat Beliau Syahrul A’dam dan Muslihan Habib. Penulis berusaha untuk memberikan informasi tentang tharekat al-Mu’tabar khususnya dalam konteks Tarekat Hizib Nahdahatul Wathan.


Pada awalnya munculnya Tarekat Hizib Nahdathul Whatan dibawa oleh Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid (1904-1997). Masa kecilnya Maulana Syaikh mendapat pendidikan dari ayahnya sendiri, sedangkan setelah berumur 15 tahun Maulana Syaikh melanjutkan pengembaraan intelektualnya ketanah suci Makkah Al-Mukarramah selama 12 tahun. Maulan Syaikh tercatat sebagai salah satu mahasiswa di madrasah Al- Shaulatiyyah dengan prestasi akademik yang gemilang (prestasi tertinggi) dengan ijazahnya ditulis tangan langsung oleh seorang Khatthath yang terkenal di Makkah saat itu, yaitu Al-Khathath Syaikh Dawud Al-Rumani. Yang diterima pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H. setelah tamat di Madrasah Al-Shaulatiyyah Beliau tidak langsung pulang ke Indonesia, melainkan masih bermukim lagi selama 2 tahun sambil menunggu adiknya Haji Muhammad Faisal. Beliau juga menulis beberapa buku dengan judul: “Bahasa arab, Bahasa Indonesia dan Sasak”; Nasyid/lagu-lagu perjuangan dan dakwah dalam bahasa arab, Indonesia dan Sasak.
Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dikaruniakan dua orang putri, yaitu Ummi Hj. Siti Rahunun sebagai putri pertamnya lahir dari pernikahan Beliau dengan Ummu Jauhariya. Dan Ummu Hj. Raihanun sebagai putrid keduanya lahir dari pernikahannya dengan Ummi Rahman. Maka dengan demikian Beliau dikenal dengan kunyah, Abu Rahunun wa Raihanun.

Sebagai tahapan awal berkiprah menampaki perjuangan untuk membebaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari cengkraman penjajah belanda dan jepang. Maka pada tahun 1934 dikampung halamnya Bumi Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB ) Maulan Syaikh mendirikan sebuah pesantren yang kemudian diberi nama pesantren Al- Mujahidin. Hal ini sebagai kiprah awal Maulan Syaikh dalam membangun umat islam dan bangsa Indonesia yang tertindas saat itu.

Pada awalnya Maulan Syaikh menerapkan meteri dengan system halaqoh. Namun, dalam perkembangan selanjutnya model pembelajaran halaqah ini diganti dengan system kalsikal. Ternyata dalam praktek semi klasikal nilainya sangat efektif. Dalam hal ini sebagai indikatornya adalah kesuksesan dalam daya serap santri terhadap penerapan materi pembelajaran sangat tinggi. Dan juga mengundang sejumlah murid yang semakin meningkat. Dengan perkembangan ini Maulan Syaikh mengubah pesantren Al-Mujahidin menjadi sebuah madrasah.

Pada tahun 1936 Maulan Syaikh mendirikan sebuah madrasah yang kemudian diberi nama Madrasah Nahdatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI) sedangkan Nahdhatul Wathan ini khusus buat kaum pria. Sehingga pada tahun 1943 Maulana Syaikh terispirasi untuk mendirikan sebuah madrasah untuk kaum wanita. Kemudian madrasah itu diberi nama dengan madrasah Nahdhatul Banat Diniyyah Islamiah (NBDI).

Rintangan dari dalam (internal) umat sendiri dari orang-orang yang tidak sepakat dengan system madrasah, sementara tantangan yang datang dari luar (ekternal) adalah keganasan tentara jepang khususnya karena mereka merasa terusik secara politik akibat berkembangnya madrasah Nahdhatul Wathan Diniyah Islamiah dan madrasah Nahdhatul Banat Diniyyah Islamiah yang pada gilirannya dapat mengancam keberlangsungan merekan di Indodesia. Namun, berbagai macam rintangan dan cobaan dapat teratasi dengan baik. Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid sebagai pendiri keduanya mengabdikan dengan sebutan “ DWI TUNGGAL PANTANG TANGGAL “.

Madrasah yang didirikan mengalami perkembangan yang sangat dasyat, bagaikan jamur yang tumbuh subur pada musim hujan. Dan banyak juga berdiri cabang-cabang dari dua madrasah ini seluruh pulau Lombok. Dan juga telah berdiri ratusan bahkan ribuan madarasah dari tingkat TK sampai perguruan tinggi dipulau Lombok dan sekitarnya dan juga berbagai belahan wilayah Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Jawa barat, DKI Jakarta, Kalimantan, Kepulauan Riau (Batam), dan berbagai tempat lainnya.

Dalam perjuangannya Nahdatul Wathan menyebut dirinya sebagai :“ Khodam NW”.s Karena Maulana Syaikh sampai mewaqafkan hidupnya hanya untuk membangun perjuangan umat islam melaluai Nahdatul Wathan yang Beliau dirikan. Dalam menjalankan aktifitas dan dakwahnya, Maulana Syaikh memilih falsafah matahari. Beliau pernah mengatakan, “ Guruku adalah Matahariku”. Falasafah ini memiliki arti, bahwa tiada hari tanpa berdahwah, bagaikan matahari yang terbit dan bersinar menyinari dunia setiap harinya tanpa henti. Beliau juga pernah mengatakan: “Hanya mati yang tidak pernah saya rasakan”. Beliau tidak punya kamus untuk menyerah dan memiliki prinsip hidup yang tak tergoyahkan dalam perjuangan, yaitu dengan yakin, ihklas dan istiqomah yang selalu menghiasi semangat perjuangannya.

Setelah Maulana Syaikh memperhatikan banyaknya penyimpangan yang dilakukan masyarakat dalam berthariqat dengan mengatasnamakan tarekat tertentu, maka Maulana Syaikh merasa geram melihat fenomena penyimpangan ini, sehingga sampai Beliau memunculkan istilah tarekat “syetan“ ataupun tarekat yang diperkosa yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Lalu pada perkembangan selanjutnya, dengan melihat kondisi seperti itu, ketika itupun Beliau sempat termenung, bahkan sempat pikiran dan perasaan susuh dan gelisah. Dalam perasaan seperti ini Maulana Syaikh membuka sebuah kitab tasawuf tentang faidah membaca salah satu shalawat Asrikna, yang artinya :
“Semoga shalawat dan salam senantiasa dianugrahkan atasMU wahai Rosulullah SAW. Maka sambutlah kami “.

Kemudian Maulana Syaikh mengamalkan shalawat ini, lalu dengan mediasi yang berasal dari salah satu seorang muridnya yang mendapat mubasyirat (mimpi) dipanggil dan bahkan bertemu dengan Rosulullah SAW. Adalah titik awal dalam proses tersusunnya hizib Nahdatul Wathan. Dalam mubsyirah tersebut sang murid berada di Randhah (makam) Rosulullah SAW. Berkata dan menitip pesan kepada sang murid untuk mengatakan, “Salam saya kepada gurumu (Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid) dan katakan juga agar segera membuat sebuah tarekat”.

Keesokan harinya, sang murid datang untuk menghadap Maulana Syaikh untuk menyampaikan pesan Rosulullah SAW. Merespon isi pesan yang berasal dari Rosulullah SAW. Maulana Syaikh sempat terkejut dan termenung, karena menurutnya menyusun sebuah tharekat itu adalah suatu hal yang sangat berat dan itu adalah merupakan suatu tugas yang diberikan kepada para wali yang setingkat wali kuthub.

Sebagai dorongan lebih keras lagi ketika Beliau mendapat tugas sebagai amurul haji. Beliau didatangi oleh orang tua yang mengenakan sorban putih mengatakan bahwa Nahdhatul Wathan akan menjadi organisasi yang lengkap dan sempurna apabila ia telah memiliki tharekat, maka hendaklah membentuk perkumpulan tharekat.
Pada klimaksnya setelah mendapat berbagai bentuk dorongan yang berfvriasi akhirnya Beliau mulai mencoba mengarahkan konsentrasinya dalam penyusunan tarekat yang dimaksudkan dengan penuh motivasi, prosesi penyusunan tarekat ini terhitung sejak tahun 1964 dan dapat diselesaikan dengan lengkap pada tahun 1967. Dan kemudian Beliau menamakan tarekat yang disusunnya ini dengan nama tarekat Hizib Nahdatul Wathan. Setelah tersusun, pada tahun 1994 tercatat jumlah anggota jamaah pengamal tharekat Hizib Nahdhatul Wathan telah mencapai 200 ribu orang jamaah. dan sampai saat ini banyak yang mengamalkan tharekat Hizib Nahdhatul Wathan.

Dalam buku ini, terdapat penulisan kata yang kurang lengkap atau kelebihan sehingga sehingga kata-kata tersebut menjadi salah ketika dibaca sehinggan perlu diperhatikan lagi dalam penulisan. Selain itu juga keunggulan buku ini yang terdapat didalamnya penulis menampilkan beberapa fakta yang terjadi dalam pembuatan hizib Nahdhatul Wathan. Dengan sebuah penelitian dalam naskah sehingga penulis dapat memaparkan dalam bentuk bukunya dengan Reposisi Tarekat Hizib Nahdhatul Wathan dalam tarekat mu’tabar di Indonesia. Dengan demikian pembaca dapat memahaimi bagaimana latar belakang terbentuknya sebuah Hizib Nahdatul Wathan Semua pernyataan yang dipaparkan oleh penulis merupakan hasil dari sebuah penelitian sehingga dapat diakui kebenarannya dan dapat dipertanggung jawabkan keoriginalnya. Buku ini sangat urgen untuk semua kaum muslim.

OLEH : Mar’atussa’adah/Mahasiswi / Santri putri Ma'had Aly Al Aqidah Jakarta, Asal Morowali, Sulawesi Tengah



Resensi buku : Reposisi Tarekat Hizib Nahdhatul Wathan Resensi buku : Reposisi Tarekat Hizib Nahdhatul Wathan Reviewed by AKIEF TAKAFUL on Wednesday, July 13, 2011 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.