PERBANDINGAN FILSAFAT DAN AGAMA MENURUT FILSUF MUSLIM

1. Latar Belakang
Islam dalam agama penyempurna dari agama-agama yang telah diturunkan oleh Allah kepada Umat terdahulu, artinya Islam adalah agama terakhir. Oleh sebab itu pula sebagai agama yang sempurna tentunya Islam harus bersifat universal dan konfrehensif, dapat sesuai dengan setiap zaman dan setiap tempat dimana penganutnya berada.
Selain itupula Islam sebagai agama yang diridhai oleh Allah S.W.T. mestinya tidak bertentangan dengan fitrah (akal) manusia yang juga dikaruniakan oleh Allah kepada manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab : Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, karena semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah S.W.T..[1] Namun pada kenyataannya tidak jarang kita temukan antara akal dan wahyu dipertentangkan oleh masing-masing. Oleh sebab itu, maka dalam makalah kami ini diantara hal ihwal yang akan kami sajikan yaitu “Bagaimana Pandangan filsuf muslim terhadap agama dan filsafat” sebagai bahan masukan untuk kita semua dan sekurang kurangnya menjadi bahan diskusi.

2. Pengertian dan Pandangan Islam Mengenai Filsafat
Filsafat merupakan salah satu dari sekian banyak sistem-sitem Islam yang mempunyai pengaruh terhadap pola pikir dan tingkah laku umat Islam.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab irad libmaid aguj gnay ,
ف ل س فة bahasa Yunani; Φιλοσοφία (philosophia). Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf". Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. 
Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
H.E Saifuddin Anshari telah menyimpulkan pengertian filsafat dari pengertian yang diberikan oleh para filosof bahwa :
1)     Filsafat adalah ilmu yang istimewa, yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak mampu dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena berada diluar jangkauannya.
2)     Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa kekalian yang ada.
Ahmad Fuad Al Ahwawi menyatakan dalam kitabnya bahwa filsafat itu adalah sesuatu yang terletak diantara ilmu pengetahuan dan agama, karena disatu sisi ia mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diketahui dan difahami sebelum orang beroleh keyakinan dan ia menyerupai ilmu pengetahuan disisi lain karena ia merupakan hasil akal pikiran manusia.
Selanjutnya dalam hubungan antara akal (filsafat) dan syariat (agama). Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hubungan antara akal dan syariat adalah hubungan pengetahuan, bisa jadi akal mengetahui syariat dan bisa jadi tidak bukan untuk menetapkan adanya syariat atau tidak adanya.[2] Bahkan Ibnu Taimiyah pernah menyatakan bahwa filsafat itu haram dengan alasan jika seorang filsuf yang tidak kuat akidahnya dapat menyesatkan.
Dari uraian singkat di atas dapat difahami bahwasanya filsafat dibutuhkan untuk memahami isi kandungan Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam dan pada dasarnya keduanya akan mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah hanya saja kalau agama menuntun manusia melalui wahyu yang diturunkan oleh Allah secara langsung maka filsafat adalah usaha frogresif manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Filsafat agama adalah filsafat yang membuat agama menjadi obyek pemikirannya. Berbeda dengan ilmu-ilmu deskriptif, filsafat agama mendekati agama secara menyeluruh. Filsafat agama mengembangkan logika, teori pengetahuan dan metafisika agama. Filsafat agama dapat dijalankan oleh orang-orang beragama sendiri yang ingin memahami dengan lebih mendalam arti, makna dan segi-segi hakiki agama-agama. Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain: hubungan antara Allah, dunia dan manusia, antara akal budi dan wahyu, pengetahuan dan iman, baik dan jahat, apriori religius, faham-faham seperti mitos dan lambang, dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan kerasionalan iman kepada Allah serta masalah "theodicea". Ada juga filsafat agama yang reduktif (mau mengembalikan agama kepada salah satu kebutuhan manusia dengan menghilangkan unsur transendensi), kritis (mau menunjukkan agama sebagai bentuk penyelewengan dan kemunduran) dan anti agama (mau menunjukkan bahwa agama adalah tipuan belaka).
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.' Para ulama yang menganggap filsafat sebagai ilmu sesat adalah para ulama arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yang beraliran salafy/wahaby/ ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai buku dan majalah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangan dengan ajaran islam. Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafat yang dianggap sesat adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaran islam. Imam Ghazali telah menulis buku yang mengkritik filsafat dan menyatakan kafirnya berbagai ajaran fisafat. Namun kemudian Ibnu Rusyd (pengarang kitab bidayatul mujtahid) menulis buku yang membantah buku Imam Ghazali tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu Rusyd membela filsafat, mungkin filsafat yang dibela ibnu rusyd adalah filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dengan demikian bisa dibilang bahwa ilmu filsafat itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama yang tidak bertentangan dengan ajaran islam dan bagian kedua yang bertentangan dengan ajarn islam.
Dan patut diingat bahwa dalam beragama kita tidak memerlukan filsafat karena nabi dan para sahabatnya juga tidak mengajarkan ilmu filsafat. Ar-Roziy berkata dalam kitab Aqsaamul Ladzdzat : Saya telah menelaah buku-buku ilmu kalam dan manhaj filsafat, tidaklah saya mendapatkan kepuasan padanya lalu saya memandang manhaj yang paling benar adalah manhaj Al-Quran…(dan seterusnya). Abu Hamidz Al-Ghozali berkata di awal kitabnya Al-Ihya : “Jika kamu bertanya : „Mengapa dalam pembagian ilmu tidak disebutkan ilmu kalam dan filsafat dan mohon dijelaskan apakah keduanya itu tercela atau terpuji ? maka ketahuilah hasil yang dimiliki ilmu kalam dalam pembatasan dalil-dalil yang bermanfaat, telah dimiliki oleh Al-Quran dan Hadits (Al-Akhbaar) dan semua yang keluar darinya adakalanya perdebatan yang tercela dan ini termasuk kebidahan dan adakalanya kekacauan karena kontradiksi kelompok-kelompok dan berpanjang lebar menukil pendapat-pendapat yang kebanyakan adalah perkataan sia-sia dan ingauan yang dicela oleh tabiat manusia dan ditolak oleh pendengaran dan sebagiannya pembahasan yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama dan tidak ada sedikitpun terjadi di zaman pertama

3. Pandangan Filsuf Muslim Terhadap Filsafat dan Agama
Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar kesadaran yang bersifat tradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya (Ahmad Azhar Basyir, 1993:13) Akal adalah potensi (luar biasa) yang dianugrahkan Allah kepada manusia, karena dengan akalnya manusia memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Dengan akalnya manusia dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk, mana yang menyelamatkan mana yang menyesatkan, mengetahui rahasia hidup dan kehidupan dan seterusnya. Oleh karena itu adalah pada tempatnya kalau agama dan ajaran Islam sebaik-baiknya dan seluas-luasnya. Sanga banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia menggunakan akalnya untuk berfikir. Memikirkan alam semesta, memikirkan diri sendiri, memikirkan pranata atau lembaga-lembaga sosial, dan sebagainya, dengan tujuan agar perjalanan hidup di dunia dapat ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang akan kembali kepada-Nya serta memetik hasil tanaman amal perbuatannya sendiri di dunia baik sebagai abdi maupun sebagai khalifah-nya di bumi.
Beberapa contoh ayat Al-Qur
an yang memerintahkan manusia berfikir tentang alam, diri sendiri, umat terdahulu dan pranata (lembaga) sosial, dikemukakan berikut ini.
Artinya :“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali-Imran : 190).
Dalam surat Ar-Rum (30) kalimat pertama ayat 8, Allah bertanya.
 Artinya :”Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” (Q.S. Ar-Rum :8).
Dalam surat Al-Mumin (40) kalimat pertama ayat 21 Allah bertanya kepada manusia yang hidup sekarang tentang nasib mereka yang hidup dahulu.
 Artinya : “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi [1319], Maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah” (Q.S. Al-Mumin :21).
[1319] Maksudnya: bangunan, alat perlengkapan, benteng-benteng dan istana-istana.
dan
Dan juga yang Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. Ar-Rum :21).
Akal yang diberi tempat demikian tinggi di dalam agama Islam, mendorong kaum muslimin mempergunakannya untuk memahami ajaran-ajaran Islam dengan penalaran rasional, sejauh ajaran itu menjadi wewenang akal untuk memikirkannya.
Oleh karena itu sesungguhnya, pada hakikatnya umat Islam telah berfilsafat sejak mereka menggunakan penalaran rasional dalam memahami agama dan ajaran Islam. Penalaran rasional dalam memahami ajaran Islam adalah mempergunakan akal pikiran (ra
yu) untuk berijjtihad sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang Muaz bin Jabal, (Ahmad Azhar Basyit, 1993 : 18-19).
Sebagai ilmu dan bidang studi, filsafat Islam muncul bersamaan dengan munculnya filsuf yang muncul pertama, Al-Kindi pada pertengahan abad IX M. atau bagian pertama abad III H, setelah berlangsung gerakan penterjemahan buku ilmu dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab lebih dari setengah abad di bagdad. Oleh karena dapat dipahami kalau ada ulama yang menganggap filsafat hanyalah hasil pemikiran berdasarkan akal manusia semata, seperti filsafat Yunani yang diterjemahkan itu. Anggapan demikian tidak benar, sebab para filsuf muslim yang sama seperti para ulama lainnya juga, mendasarkan pemikirannya pada Al-Quran dan Al-Hadits dan memandang Al-Quran dan Al-Hadits di atas segala kebenaran yang didasarkan pada akal manusia semata. Mereka tertarik kepada filsafat karena berpikir atau berfilsafat merupakan tuntutan agama dalam rangka mencari kebenaran dan mengamalkan kebenaran itu. Yang mereka pergunakan sebagai saringan (filter) adalah ajaran Al-Quran dan Al-Hadits. Dengan mempergunakan Al-Quran dan Al-Hadits sebagai dasar dan bingkai pemikiran dapatlah disebut bahwa hasil pemikiran mereka adalah filsafat Islam atau filsafat dalam Islam (Ensiklopedia Islam Indonesia, 192:232).
Filsafat Islam juga membicarakan masalah-masalah besar filsafat, seperti soal wujud, soal esa dan berbilang, yang banyak dari yang Maha Satu (di bawah), teori mengenal kebahagiaan dan keutamaan, hubungan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya. Selain itu filsafat Islam mencakup juga tentang kedokteran, hukum, ekonomi dan sebagainya. Juga memasuki lapangan ilmu-ilmu ke-Islaman lain seperti ilmu kalam, ilmu fikih serta ilmu tasawuf (juga ilmu akhlak) terdapat uraian yang logis dan sistematis yang mengandung pemikiran-pemikiran filosofos (kefilsafatan). Banyak persoalan-persoalan yang dibahas dalam filsafat Islam. Di antaranya yang penting dalam kajian ini adalah persoalan (hubungan) akal dan wahyu atau hubungan filsafat dengan agama, soal timbulnya yang banyak dariyang maha satu yaitu kejadian alam, soal ruh, soal kelanjutan hidup setelah ruh berpisah dengan badan atau mati (Ensiklopedia Islam jilid II, 1993 : 16-17).
Filsafat Islam mencapai puncaknya di zaman Al-Farabi dan Ibnu Sina pada abad XI dan XII M atau abad IV dan V H. Kedua tokoh ini merupakan bintang paling bercahaya dalam sejarah filsafat Islam, sedang yang lain, sebutlah misalnya Ibnu Maskawih, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, juga bintang-bintang filsafat Islam, tetapi cahaya mereka tidaklah secemerlang cahaya Al Farabi dan Ibnu Sina tersebut di atas. Setelah ada pertentangan di antara para ahli atau ulama mengenai kefilsafatan seperti yang telah disinggung di atas yang berpuncak pada polemik antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali sekitar abad XII M, perhatian orang kepada filsafat menjadi berkurang di kalangan Sunni. Perhatian itu baru bangkit dan berkembang kembali pada satu abad terakhir ini (abad XX M). di kalangan Syiah perhatian kepada filsafat (Islam) tidak pernah berkurang di kalangan Sunni, kalangan Syiah mampu melahirkan filsuf-filsuf besar, seperti Mulla Sadra (w. 1640M atau 1050H).
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa telah terjadi hujatan dan penentangan yang begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan mengenai kehadiran filsafat ke dalam kajian/wilayah agama. Mereka mengatakan filsafat sangat bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
Apakah betul bahwa filsafat sangat bertentangan dengan agama?
Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja yang menolak untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu adalah kafir, maka sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang sebenarnya kafir.
Diantara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah karya khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan antara filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama sesungguhnya tidak ada pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru mewajibkan pemeluknya untuk belajar filsafat.
Jika filsafat mempelajari secara kritis tentang segala wujud yang ada dan merenungkannya sebagai petunjuk ‘dalil’ adanya sang pencipta dari satu sisi dan syari’ah pada sisi yang lain telah memerintahkan untuk merenungkan segala wujud yang ada, maka sesungguhnya antara apa yang dikaji oleh filsafat dan apa yang dianjurkan oleh syari’ah telah saling bertemu. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa mempelajari filsafat sesungguhnya telah diwajibkan oleh syari’ah.
Penekanan al’quran didalam surat 59 ayat 2 yang berbunyi : “Fa’tabiru ya uli al abshar” (Renungkanlah olehmu, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan (visi)) sesungguhya lebih kepada penekanan pentingnya untuk  menggunakan akal, atau gabungan antara penalaran intelektual (filsafat) dan penalaran hukum (syari’at).
Demikian juga surat 185 ayat 7 yang mengatakan :
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah”
Juga adalah ayat yang menganjurkan supaya manusia menggunakan akal dan penalarannya untuk mempelajari totalitas wujud. Dengan demikian maka sesungguhnya syari’at telah mewajibkan kepada kita untuk menggali pengetahuan tentang alam semesta ini dengan penalaran. Namun demikian, untuk bisa melakukan penalaran yang benar maka disyaratkan seseorang itu harus mengetahui terlebih dahulu beberapa metode atau cara berpikiran yang logis dengan mempelajari ilmu logika supaya bisa melakukan pembuktian yang demonstratif.
Ibn Rusyd kemudian membandingkan kewajiban mempelajari ilmu logika sebagai alat untuk berfilsafat dengan kewajiban yang ditetapkan oleh para fuqaha untuk mempelajari katagori-kategori hukum yang termuat dalam ushul al-fiqh.
Ibn Rusyd menyatakan jika para fuqaha menyimpulkan kewajiban untuk memperoleh pengetahuan tentang penalaran hukum dari ayat “fa’tabiru ya uli al abshar”, maka alangkah lebih pantas jika ayat tersebut dijadikan sebagai dalil wajibnya untuk mempelajari pengetahuan rasional (rasional reasoning) bagi mereka yang ingin mengetahui Tuhan dan ciptaan-Nya.
Islam sebagai agama moderat senantiasa menganjurkan jalan pertengahan (tawasuth). Karenanya, dapat diketahui bahwa semangat pemaduan dan pertengahan merupakan salah satu corak pemikiran kaum Muslimin dalam berbagai lapangan kehidupan. Setiap kali ada aliran-aliran yang berlawanan, tentu akan timbul penengahnya, seperti ditunjukkan dalam sejarah aliran dan pemikiran dalam Islam. Aliran Asy’ariyah dalam ilmu kalam dapat dikatakan merupakan aliran pertengahan dari golongan yang memegangi tekstual bunyi nash tanpa mengemukakan penafsiran rasional, dengan aliran Mu’tazilah yang mempertahankan kebebasan akal sepenuhnya dalam memahami nash dan penafsirannya. Dalam lapangan hukum Islam, madzhab Syafi’i merupakan madzhab pertengahan yang terletak diantara Madzhab Maliki yang mendasari pendapatnya kepada Hadits sesudah Qur’an (ahlu al-Hadits), dengan madzhab Hanafi yang mendasari pendapat-pendapatnya kepada pikiran dan ijtihad (ahlu al-ra’yi).
Di samping itu, terdapat juga beberapa faktor lain yang mendorong pemaduan antara agama dengan filsafat, yaitu :
1.      Adanya jurang pemisah yang dalam antara Islam dengan filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri Nya, Qadimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan, keabadian jiwa, dan lain sebagainya.
2.      Adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh kalangan agamawan terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan akidah yang telah ditetapkan sebelumnya. Sikap ini sering diikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap para filosof.
3.      Hasrat para filosof sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu nampak pertentangannya dengan agama.
Bagi mereka yang tetap ngotot mengatakan bahwa belajar filsafat tersebut adalah bid’ah, Ibn Rusyd mengatakan, “anggaplah filsafat itu bid’ah karena tidak terdapat dikalangan orang-orang Islam pertama (salaf). Tetapi apakah hal serupa tidak berlaku juga bagi studi penalaran hukum (ushul al-fiqh) yang tercipta juga setelah periode salaf.
Ikhwanus Shafa tentang hubungan agama dengan filsafat. Mengatakn bahwa, harmonisasi agama dan filsafat mereka bukanlah menghimpun kebenaran-kebenaran filosofis dengan kebenaran-kebenaran agama. Mereka tidak menunjukkan penilaian yang berat sebelah kepada salah satunya untuk kemudian sampai kepada sintesis yang menghimpun antara unsur-unsur yang sama dan berkesesuaian sebagaimana dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina. Namun upaya mereka tak lebih dari menghindarkan pertentangan (raf’un nizâ`). Dalam bahasa Adil Awa, mereka senantiasa berada di persimpangan jalan (fî muntashaf at-tharîq) antara iman dan akal, agama dan filsafat. Caranya, dengan menjelaskan sebagaian teks-teks agama dengan konsep-konsep filosofis yang bagi sebagian orang di tingkat intelektual tertentu tampak sebagai sesuatu yang keren (Maksum, hal. 131). Bagi mereka, filsafat adalah metode rasional untuk memahami agama.
Untuk lebih jelas lagi, upaya harmonisasi antara agama dan filsafat itu dapat dilihat dari tiga perkara. Pertama, pengakuan mereka terhadap nilai yang terkandung di dalam pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Kedua, menganggap nabi adalah filosof bila tak terlanjur mendapat wahyu. Ketiga, pandangan bahwa terdapat kandungan lahiriah dan batiniah dalam sumber-sumber ketentuan agama. Dan makna batin dari agama ini hanya dapat diselami oleh orang-orang yang andal dalam bidang keilmuan. Konon, kata Ikhwanus Shafa, sebuah kutipan hadis mengatakan, “Kalau Aristoteles masih hidup, niscara ia akan beriman kepadaku.” Hadis ini bagi mereka menunjukkan bahwa para bijak bestari pun akan sampai kepada kebenaran yang sama dengan para nabi.
Namun, bukan tidak ada sikap kritis yang ditunjukkan Ikhwanus Shafa terhadap dogmatisme beragama. Mereka misalnya berpendapat bahwa, “…syariat telah dicemari oleh kebodohan dan bercampur-baur dengan kekeliruan-kekeliruan. Tiada jalan lain untuk mencuci dan mensucikannya kecuali dengan deterjen filsafat. Sebab filsafat mengandung kearifan dalam berkeyakinan (al-hikmah al-i`tiqâdiyyah) dan ketepatan dalam berkesimpulan (al-mashlahah al-ijtihâdiyyah). Namun begitu, harapan harmonisasi lagi-lagi tetap mengemuka. Misalnya dalam perkataan mereka: “Bila terjadi persekutuan antara filsafat Yunani dengan syariat Arab, maka sesungguhnya kesempurnaan telah tercapai (Iraqi, hal 45)
5. Penutup
Kesimpulan
Maka penulis dapat menyimpulkan, Kiranya jelas bahwa orang agama dewasa ini sangat perlu mempelajari filsafat agama dan bahkan ikut secara aktif di dalamnya, artinya, rnenjadi filosof agama. Di satu pihak, filsafat dapat membuka mata manusia akan kenyataan, keluhuran dan keunikan gejala agama (berlawanan dengan segala teori reduktit). Di lain pihak, serangan-serangan filsafat agama yang reduktif, kritis dan anti agama perlu ditanggapi. Kaum agama dapat belajar daripadanya, belajar bahwa keagamaan dapat disalahpahami, supaya mereka memperbaiki penghayatan keagamaan sedemikian rupa hingga agama tidak lagi disalahpahami. Juga untuk membuka kelemahan pendekatan kritis-reduktif itu. Kalau agama mau menghadapi tantangan modernisasi secara terbuka, dan kalau ia mau ikut menjadi unsur aktif di dalamnya, maka ia harus berani terjun ke filsafat agama.
Subtansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara itu eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan kaidah-kaidah filsafat yaitu akal. Akal menurut salah seorang filsuf muslim yaitu Ar Razi adalah karunia terbaik Tuhan yang diberikan kepada manusia. Dengan akal manusia melihat segala yang berguna dan membuat hidupnya lebih baik. Sesuai dengan kaidah filsafat yaitu mencari kebenaran, maka agama adalah kebenaran yang absolut dan dogmatis. Di sinilah fungsi akal untuk menerjemahkan yang dijelaskan oleh agama.

Walaupun agama dan akal merupakan ciptaan Tuhan tetapi karena akal terdapat pada semua manusia dan tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya tetapi keberadaan ajaran-ajaran agama tidak bisa diterima oleh semua manusia. Dengan demikian akal yang didorong untuk menjelaskan dan dijadikan argument atas ajaran-ajaran agama. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa ajaran agama berasal dari-Nya tetapi akallah yang mendorong kita untuk berpikir akan adanya eksistensi Tuhan.

Agama dan filsafat mendapatkan porsi dan fungsinya masing-masing. Tidak bisa kita memaksakan agama masuk ke dalam ranah kajian filsafat begitu juga sebaliknya tidak bisa dipaksakan filsafat memasuki ranah kajian agama. Keduanya berada posisi yang saling berhadapan karena sifat keduanya yang berbeda dan saling bertolak belakang. Agama bersifat absolut dan dogmatis sedangkan filsafat bersifat relatif sesuai dengan kemampuan akal untuk memahaminya

Mempelajari filsafat bagaikan bermain dengan api, jika tidak berhati-hati maka kita akan terbakar, filsafat bisa membuat kita kafir tanpa sadar. Mempelajari filsafat dapat menyebabkan kebingungan, kesesatan, kekafiran, kemusyrikan, kebidahan, lemah akidah, gila, stress, gangguan iman dan serangan iblis.5.2.
Saran
Dalam mendalami Islam harus teliti dan dengan didampingi para ahli dan harus di sesuaikan dengan Al-Quran dan Al-Hadits agar tidak terjadi penyimpangan yang menyesatkan.

Di Kutip dari Tugas Filsafat Akief al Malawi
STAI Al Aqidah Al Hasyimiyyah Jakarta

Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud. 2004. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Nata, Abuddin. 2005.
Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Gaya Media Pratama.
Hatoko, Dick. 2002.
Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Indonesia.com. Filsafat Agama. FilsafatAgama.(Online).(http://www.indonesiaindonesia.com/external.php?type=RSS2&forumids=294 diakses 05 Oktober 2009).Amri.2009.
Wikipedia. Filsafat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Filsafat. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat diakses 05 Oktober 2009).Abied. 2009.
Filsafat Pendidikan Islam « Belajar Bijak. Filsafat Pendidikan Islam. (Online). (http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/filsafat-pendidikan-islam/ diakses 20 Januari 2010).
Sutardjo A. Wiramihardja. 2006. Pengantar Filsafat. : PT. Refika Aditama.
Drs. Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. : Bumi Aksara
PERBANDINGAN FILSAFAT DAN AGAMA MENURUT FILSUF MUSLIM PERBANDINGAN FILSAFAT DAN AGAMA MENURUT FILSUF MUSLIM Reviewed by AKIEF TAKAFUL on Thursday, March 17, 2011 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.